Tetap konsisten dalam dakwah


Pernahkah kita mendengar ucapan sinis “ sok suci, sok alim, munafik, pamer, riya, Cuma cari dukungan politik,..etc“ ketika kita berusaha berbuat kebaikan dan mensyiarkannya melalui dakwah ke masyarakat??? Tatkala kita terjerumus dalam kesalahan, maksiat dan dosa, senantiasa ada orang yang berebut membesar besarkannya dengan prinsip ‘bad news is good news’ yang artinya keburukan orang yang dipandang ‘baik’ oleh masyarakat adalah berita terbaik dan layak menjadi headline. Padahal bila kesalahan, maksiat dan dosa tersebut dilakukan oleh orang ‘biasa’ maka akan dianggap lumrah, wajar, ditolerir sehingga tidak layak diangkat menjadi headline. Mereka tidak tahu bahwa kita adalah orang biasa yang berupaya belajar kebaikan dengan mengamalkannya melalui lingkungan dakwah. Lingkungan dimana berisi orang orang biasa yang bekerjasama  dalam memperbaiki diri dan masyarakat. Kita membutuhkan lingkungan tsb karena kita secara individual lemah dalam memperbaiki diri karena keterbatasan ilmu dan amal kita.



Sahabat, ikhwah fillah yang saya cintai karena Allah. Mari kita pelajari kembali dan renungkanlah berulang-ulang peristiwa yang menimpa generasi para sahabat setelah wafatnya baginda Rasulullah. Ketika kemenangan dalam berbagai pertempuran berhasil diraih dengan tumbangnya imperium Persia dan kemerosotan imperium Bizantium. Ketika semakin banyaknya umat manusia yang masuk Islam dan membentangnya kekuasaan daulah Islamiyah. Satu demi satu fitnah datang menerjang. Satu demi satu rayuan dunia datang memperdaya jiwa yang lengah. Pada saat itu perselisihan dan pertumpahan darah terjadi diantara para sahabat yang mulia (silahkan pelajari perang shiffin, perang jamal, pertiwa tahkim etc). Namun Allah masih menyayangi mereka. Mereka pun kembali kepadaNya. Mengadakan ishlah, perdamaian  dan membangun kembali puing puing bangunan dakwah meski tidak seindah sebelumnya.
Ketika itu, tahun persatuan ‘am jamaah’, dimana Hasan putra Ali ibn Abu Thalib-radhiyallohu anhuma- menyerahkan kekuasaan dengan legawa kepada Muawiyah ibn Abu Sofyan-radhiyallohu ‘anhu- (lawan politik Ali-karomahullohu wajhah-). Namun badai ujian belum berhenti menimpa generasi para sahabat ketika kelompok Khawarij menyebarkan isu ketidakpercayaan terhadap pemerintah/khalifah. Isu tersebut tersebar pesat di masyarakat.
Isu tersebut mungkin akrab di telinga kita saat ini seperti “cobalah lihat pemimpin kalian yang tenggelam dalam maksiat dan sengaja memanfaatkan kalian untuk kepentingan politik mereka dengan mengorbankan umat. Mereka menjual agama dengan dalil dalil suci untuk mengokohkan kekuasaan. Sedangkan kalian bekerja keras dalam berdakwah di masyarakat. Tidakkah kalian berpikir ??? “
Ya cobaan, fitnah etc tersebut akan selalu ada dan pasti ada dalam setiap dakwah. Kita tidak perlu khawatir dan kaget berlebihan. Yang kita perlu pertanyakan pada diri kita:sudah siapkah kita menghadapinya dan bagaimana mensikapinya ? ataukah kita mundur ke belakang sambil menyalahkan dan membentuk atau bergabung dalam barisan sakit hati? Padahal barisan itu pun tidak lepas dari masalah internal. Dan terbentuklah barisan sakit hati dari barisan sakit hati sebelumnya.
Ada sebuah kisah fiktif dari ustadz Rahmat Abdullah “ alkisah, ada seekor kera yang dikenal sangat ahli dalam memanjat pohon. Dia mampu bertahan di pucuk batang pohon dengan terpaan angin besar. Namun ketika angin sepoi sepoi menerpa wajahnya, ia terlena dan jatuh.” Dulu, ketika dakwah ini masih ‘kecil’ belum banyak masalah. Namun ketika kita memanjat kian tinggi, makin kencang angin menerpa kita. Bukan angin besar yang paling membahayakan kita, namun ‘angin’ kenikmatan yang bisa membuat kita lalai dan terjatuh dalam maksiat. Mari bersama membenah diri dan saling mengingatkan dengan tetap menjaga adab. Anggaplah fitnah, cobaan, cabaran, hasutan, cibiran etc sebagai pengingat kita untuk berbenah dan test kemampuan untuk naik ke level yang lebih tinggi.
Tetaplah istiqomah dalam dakwah.